8 SEPTEMBER 2019, MINGGU, SEKITAR JAM 09:00 - 09:15
Saya sedang berjalan di dek 2 tempat parkir mobil di Hotel Grand Dafam Signature menuju ke arah mobil saya, ketika telepon selular milik saya berbunyi.
Saya terima panggilan telepon itu dan ternyata dari ICU dimana istri saya, Martha, dirawat. Dan terdengar suara seorang perempuan,”Pak Joseph Pratana, bapak harap segera ke ICU sekarang. Istri bapak kondisinya tidak bagus.”
Dan saya menjawab,”Maksudnya tidak bagus bagaimana?”.
“Kondisinya sudah menurun semua”, jawab suara perempuan itu, yang mungkin dokter jaga atau suster yang ada di ICU.
“Apakah istri saya sudah meninggal?”, tanya saya.
“Ya, Pak”, sahut suara perempuan di telepon.
“Baik, saya akan ke ICU sekarang.” jawab saya.
Saya mengakhiri pembicaraan di telepon. Posisi saya masih ada di dekat mobil. Dari tempat saya berdiri saya bisa melihat bahwa cuaca amat cerah pada pagi hari Minggu itu. Tapi saat itu saya tidak bisa menangkap kecerahan pagi itu. Saya hanya merasakan hitamnya awan mendung dalam pikiran dan hati saya. It was a black Sunday for me. Istri saya, Martha Ekawati, telah pergi untuk selamanya pada hari Minggu, tanggal 8 September 2019, jam 09:12. Perempuan yang saya nikahi pada tanggal 29 November 1992 dan memberikan saya 2 orang anak perempuan, Michelle Fay Pratana dan Gianina Joy Pratana. Dia telah pergi selamanya setelah hidup bersama saya selama 26 tahun 9 bulan. Finally death did us apart.
Martha pergi untuk selamanya tepat 3 bulan setelah ulang tahunnya yang ke 57 yang jatuh pada tanggal 8 Juni.
3 HARI SEBELUMNYA, 5 SEPTEMBER 2019, RUMAH SAKIT GRAHA AMERTA
Pagi hari sekitar jam 06:00 saya bangun dari tidur dari tempat tidur yang terletak di sebelah tempat tidur dimana Martha terbaring di kamar di Rumah Sakit Graha Amerta. Nina, anak saya yang kedua, masih tertidur di sebelah saya. Martha terbaring tidur (atau tidak sadar) karena Kalium nya rendah. Suster masuk ke kamar untuk mengecek kondisi Martha. Saya mengawasi suster melakukan kegiatan rutinnya yang dia lakukan setiap pagi.
Martha telah dirawat di Graha Amerta sejak 2 Agustus 2019. Sebelumnya Martha di rawat di RKZ sejak 10 Juli 2019 hingga 1 Agustus 2019. Martha menderita sakit auto-immune yang bernama ITP (Idiopathic Thrombocytopenic Purpura). Sakit auto-immune yang menyebabkan trombosit dalam darah Martha turun hingga tinggal 1000.
(Jumlah trombosit normal dalam darah adalah 150.000–400.000 trombosit per mikroliter darah. Bila trombosit kurang atau lebih dari jumlah tersebut, dapat terjadi gangguan dalam proses pembekuan darah. Sehingga jika terjadi pendarahan maka darah tidak akan bisa berhenti mengalir karena gagal untuk membeku)
![]() |
Martha lagi ditransfusi darah apheresis untuk menaikkan trombosit di RKZ |
Kembali kepada suster yang lagi melakukan cek rutin pagi hari. Kemudian suster menelpon pos jaga dan mengatakan bahwa pasien sudah tidak bisa respon. Tak lama kemudian, banyak suster masuk ke kamar dan mulai melakukan banyak hal ke Martha.
Saya membangunkan Nina dari tidurnya dan memberitahukan kalau mama sudah tidak bisa respon. Dan saya menelpon anak saya yang pertama, Michelle untuk segera datang ke rumah sakit.
Saat itu bagaikan mimpi buruk yang menjadi kenyataan bagi saya. Rasanya ingin saya bilang kalau semua ini adalah hanya sekedar mimpi. It is still difficult for me to put into words what I felt that day.
Martha dibawa masuk ke dalam HCU (High Care Unit) dan dokter-dokter mulai berdatangan dan melakukan segala macam cara untuk melakukan pertolongan ke Martha.
Saya, Nina dan Michelle (yang sudah tiba di rumah sakit) masuk ke dalam ruang HCU dan melihat semua kegiatan yang dilakukan dokter-dokter dan suster. Biasanya kalau Martha mendapat kesulitan maka saya akan menolong dia, tapi hari itu Martha ada dalam kesulitan besar dan saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong dia. Saat itu saya sudah tidak tahu harus berbuat apa. Mau berdoa pun saya juga tidak tahu harus berdoa apa. My world was turned upside down at that time.
![]() |
Martha (setelah Kalium dalam dirinya turun) bersama Nina di Graha Amerta |
Kemudian seorang suster mendatangi saya dan berkata,”Pak, bapak kalau mau menghubungi pendeta atau pastur bisa dilakukan sekarang”.
Hati saya seperti dirobek-robek dengan pisau mendengar kata-kata suster itu.
Saya jawab,”Tidak suster. Saya sendiri yang akan berdoa buat istri saya”.
Saya ajak kedua anak saya mendekat ke tempat tidur istri saya. Dan saya melihat banyak selang dibadan istri saya dan ada selang yang masuk kedalam mulutnya. Till this day I still cannot describe how I felt that day. Dan saya mulai berdoa bersama kedua anak saya. Setelah itu bergantian anak anak saya berdoa untuk mamanya.
Pagi itu juga sekitar jam 08.00 - 09:00 Martha dipindahkan dari HCU ke ICU (Intensive Care Unit) yang berada di gedung sebelah Graha Amerta, yaitu di Pusat Pelayanan Jantung Terpadu.
Setelah Martha masuk di ICU, seorang dokter memanggil saya dan kedua anak saya untuk berbicara di kantornya.
Di dalam kantornya dokter mengajukan pertanyaan yang kira-kira intinya adalah apakah saya mau tim dokter melakukan tindakan “do something” atau “do everything” terhadap Martha.
“Do something” adalah jika kondisi pasien menjadi jelek dan tidak bisa ditolong, maka dokter membiarkan pasien untuk meninggal. Sedangkan “Do everything” jika kondisi pasien menjadi jelek dan tidak bisa ditolong, dokter akan melakukan segala macam upaya dengan memasang alat bantu untuk tetap membuat pasien “tetap bisa bernafas”.
Dan saya memilih “do something”. Saya tidak ingin istri saya tersiksa lebih lama lagi dengan sekedar bernafas karena dibantu dengan mesin. Kemudian dokter meminta saya untuk menandatangani surat pernyataan.
ICU di gedung Pusat Pelayanan Jantung Terpadu tidak memiliki ruang tunggu yang memadai untuk menunggu pasien yang sedang dirawat di ICU. Sehingga saya memutuskan untuk tinggal di Hotel Grand Dafam Signature yang berada di Jl. Kayun, pada malam harinya. Sekitar 10 menit jika naik mobil dari Pusat Pelayanan Jantung Terpadu ke hotel.
8 SEPTEMBER 2019, MINGGU PAGI
Selesai berpakaian setelah mandi pagi, saya bergegas meninggalkan kamar hotel menuju ke restoran hotel dimana Michelle dan Nina sedang makan pagi.
Saya bilang ke Michelle dan Nina yang sedang makan pagi bahwa saya tidak ikut makan pagi, saya akan langsung ke rumah sakit lebih dahulu dan mereka bisa menyusul kemudian.
Saya meninggalkan mereka dan mereka meneruskan makan pagi mereka. Dan saya berjalan ke arah dek 2 lantai parkir dimana saya memarkir mobil saya semalam. Tengah berjalan ke arah mobil, telepon selular saya berbunyi………
Setelah menerima telepon, saya berjalan balik ke arah elevator untuk menuju ke restoran hotel dimana Michelle dan Nina lagi makan pagi. Memasuki restoran, saya melihat Michelle dan Nina sedang makan. Perasaan saya kacau balau. Dalam beberapa menit kedepan hidup mereka akan berubah dengan mengetahui bahwa mama nya telah pergi untuk selamanya. Kaki saya melangkah membawa saya ke arah meja dimana Michelle dan Nina berada. Nampak mereka makan sambil berbincang. Saat saya berjalan ke arah mereka, saya seakan akan tidak bisa mendengar suara yang ada di restoran saat itu. Mata saya hanya terpaku ke arah Michelle dan Nina.
Saya berhenti di depan meja dimana Michelle dan Nina makan, dan mereka melihat saya heran kenapa saya balik lagi.
Dan saya berkata ke mereka,”Ayo ke rumah sakit, mama sudah di Sorga.”
Tidak ada yang lebih berat di dunia ini ketika Anda harus memberitahukan ke anak anak bahwa mamanya telah tiada lagi. Trust me on this.
![]() |
Martha masih di kamar biasa (bukan ICU) Graha Amerta |
8 SEPTEMBER 2019, MINGGU PAGI, ICU - PUSAT PELAYANAN JANTUNG TERPADU
Saya berada di ICU bersama Michelle dan Nina. Kami bertiga berdiri mengelilingi tempat tidur dimana Martha berbaring. Saya menggenggam tangan Martha. Beberapa hari sebelumnya ketika Martha sudah “tertidur” karena Kalium nya turun dan tidak bisa diajak berkomunikasi, Martha masih bisa meremas tangan saya ketika saya memegang tangannya dan memanggil namanya. Tapi tidak untuk kali ini, tangan yang saya pegang terasa amat dingin dan tidak menggenggam balik dan tidak meremas tangan saya lagi.
Michelle dan Nina menangis, sebenarnya mereka sudah menangis sejak dalam perjalanan dari hotel ke rumah sakit. Dan saya pun menangis. Dan saat ini pun ketika saya menuliskan ini di depan komputer, saya juga tidak bisa menahan air mata untuk tidak turun. Saat ini saya masih bisa merasakan apa yang saya rasakan saat saya berdiri di depan tempat tidur dimana saya melihat istri saya sudah tiada lagi 2 tahun yang lalu. The feeling still sticks in my heart and mind. I guess it will stick forever till the time I go to meet her.
Setelah itu kami bertiga berdoa untuk melepas Martha pulang ke rumah Bapa di Sorga.
Saya sempat membisikkan di telinganya,”Go with peace, May. I will take care of our kids.”
Saya selalu memanggil Martha dengan panggilan “May” sejak kami berpacaran. “May” adalah nama tengah dari Martha, yaitu Tan May Hwa.
![]() |
Martha di ICU dan Michelle |
8 SEPTEMBER 2019, MINGGU SIANG, KOMPLEKS RSUD DR. SOETOMO
Saya berjalan di belakang tempat tidur yang ada rodanya, yang di dorong untuk membawa jenazah Martha dari ICU Pusat Pelayanan Jantung Terpadu ke kantor kematian rumah sakit Dr. Soetomo yang akan mengurus surat-surat sebelum dibawa ke Adi Jasa.
Dan saya berjalan tepat di belakang jenazah Martha. Di belakang saya berjalan Michelle dan Nina bersama-sama papa dan mama saya, adik-adik saya, adik Martha dan beberapa teman-teman saya. Perjalanan dari ICU ke kantor kematian rumah sakit jaraknya cukup jauh dan berbelok-belok, walaupun masih di dalam kompleks rumah sakit. Rombongan berjalan kaki untuk membawa jenazah Martha ke kantor kematian ini cukup memakan waktu dan saya dalam hati ingin supaya perjalanan ini tidak pernah berakhir. Karena bagi saya ini untuk terakhir kalinya saya bisa berjalan “bersama” Martha. Karena saya tahu pasti, setelah ini saya tidak akan pernah bisa berjalan bersama-sama Martha lagi. Don’t ask me how I felt that day. I felt emptiness, hollow. Deep inside, I died with her.
Setelah urusan surat selesai, saya masuk ke dalam mobil jenazah yang akan membawa Martha ke Adi Jasa. Saya duduk di samping jenazah Martha yang dibungkus kain batik warna coklat dan terbaring di hadapan saya. Mobil jenazah berjalan menuju ke Adi Jasa.
8 SEPTEMBER 2019, MINGGU SIANG, ADI JASA
Saya duduk menunggu jenazah Martha lagi dimandikan. Michelle dan Nina baru kembali dari mengambil baju Martha di rumah yang akan dikenakan oleh Martha.
Tak lama kemudian saya dipanggil masuk keruangan dimana jenazah akan disimpan di kamar es. Kami semua masuk, saya, Michelle, Nina dan orang tua saya, adik-adik saya, adik Martha dan teman-teman saya. Saya melihat Martha terbaring dengan mengenakan baju warna hitam yang biasa dia pakai untuk pergi ke pesta bersama saya. Tangannya terlipat di dadanya. Saya mendatangi dalam jarak dekat. Saya pandangi wajahnya. Saya melihat ada bercak kotor kecil di dekat bibirnya. Saya ambil kapas dan saya bersihkan wajahnya dari bercak kotor itu. Dan saya masukkan kapas itu dalam saku celana saya. Sampai hari ini saya masih menyimpan kapas itu.
Saya pegang tangannya yang terlipat di dadanya dan saya membungkukkan badan dan saya berbisik di telinga nya,”May, aku tidak bisa menemani kamu kali ini. Aku harus menemani anak anak dulu ya. But I promise, aku akan menemani kamu kalo anak anak sudah settle.”
Janji “menemani” merujuk kejadian 18 Agustus 2019. Ketika Martha akan di foto thorax dan dibawa dari kamarnya di ke ruang foto. Dan saya menemani dia dari kamar hingga ke ruang foto. Saat itu dia sempat berkata kepada saya,”Nah, kalo pas seperti ini loh, aku ini kepingin ditemani, aku butuh teman”.
Saat itu saya menjawab,”May, aku menemani kamu. Aku tidak ninggal kamu. Ada aku kan”.
Kembali ke kamar es di Adi Jasa, setelah membisikkan kata-kata itu di telinga Martha, saya sudah tidak bisa mengingat lagi dengan jelas apa yang terjadi saat itu. Orang menyuruh saya berdiri disini atau disitu, di foto dan lain sebagainya. Saya hanya melakukan apa yang orang sarankan, saya sudah tidak punya keinginan apa apa saat itu.
There was a deep sadness in my heart and mind that day. I think it still resides in me to this day.
Saya bilang ke teman saya, “Andaikata Martha meninggal dalam usia 75 tahun, saya tidak akan sedih. Tetapi Martha pergi saat dia masih berusia 57 tahun. It breaks my heart.”
Menulis artikel ini bukan seperti mengoyak luka lama, sama sekali bukan. Tetapi lebih menyerupai menaburi luka yang masih segar dengan garam, sebuah luka yang tidak pernah mengering dan tidak pernah sembuh. To tell the truth, I am a wounded man.
Hari ini, 8 September 2021, tepat dua (2) tahun kepergian Martha. Tapi bagi saya Martha tidak pernah pergi dari hati dan pikiran saya.
I still miss her every single day.
(Joseph Pratana)
SOME ADVICE
For you who read this article and your spouse is still alive and well, please enjoy every moment with him/her. If you have a disagreement between you two, talk it over, work on it. Don't let small matters ruin everything you have built. You still have a chance to be with him/her, seize the moment. I don't have that chance to be with my wife anymore now. What I have now is only a memory of her.
Bagi Anda yang membaca artikel ini dan pasangan Anda masih hidup dan sehat, silakan nikmati setiap momen bersamanya. Jika Anda memiliki perselisihan di antara Anda berdua, bicarakan, selesaikan. Jangan biarkan hal-hal kecil merusak semua yang telah Anda bangun. Anda masih memiliki kesempatan untuk bersamanya, manfaatkan kesempatan itu. Saya tidak memiliki kesempatan untuk bersama istri saya lagi sekarang. Yang saya miliki sekarang hanyalah kenangan tentang dia.
NOTE
It is not easy for me to write this article. The whole feeling I experienced 2 years ago came back and overwhelmed me. The restlessness, emptiness and sadness embraced my mind and heart. I couldn’t think straight and the whole thing is like it just happened yesterday. I have to force myself to keep writing till it's finished. I just want people to know what me and my daughters have experienced the day Martha went to Heaven to meet our Lord Jesus Christ.
12 komentar:
Usia Bu Martha hanya selisih seminggu dengan Ibu saya, Pak Joseph. Ibu saya meninggal 50 hari yang lalu. 1 bulan 17 hari setelah ulang tahun terakhirnya. Saya sangat sependapat dengan Bapak. Rasa sakit akibat kehilangan itu tidak akan pernah lenyap sampai kita bertemu mereka kembali.
Saya ikut berdukacita, Dee.
Orang yang mati didalam Tuhan Yesus, sebenarnya bukan kematian, hanya berpindah tempat tinggalnya. Kita tidak dapat menarik dia kembali, tetapi suatu saat kita yang akan menyusul kesana. Tetap semangat pak Yosef 🙏🏻🙏🏻
Selalu semangat
I can feel you Gwan
Hanya ikut “sedikit” merasakan apa yang koko alami, mataku berkaca2 ketika membaca ini, membaca ini serasa serta dalam kejadian ini dan merasakan perih nya hati dan kosong nya..
Ngga dapat berkomentar apa2, pelukan sahabat dan saudara dari jauh untuk mu ko..
Thank you, Franky
Tetap semangat Pak Joseph'
Saya yakin Alm Bu Martaha selalu menemani Pak Joseph didalam menjaga buah hati Michelle Fay Pratana dan Gianina Joy Pratana.
Tuhan menyertaimu dan anak-anak, sekarang dan selamanya. Amin
GBU.
Percayalah..Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan koko sendirian. Hidupmu sangat berarti di mataNya. Tetap semangat ko! Gbu.
I cried so much reading your story Pak. I remember you when you gave sermon in my previous church back when I was in high school. I was blessed with your sermon; and I’m so sorry that this had happened to you and your children… i can’t imagine how you must feel losing your most loved one. I hope God gives you solace that no one could offer you; strength & purpose to keep going in this life until you meet her again someday. I will be praying for you, like many others do. Thankyou for sharing your story… i will keep it in my heart to always cherish my loved ones while I still have the time.
Selamat jalan pak Joseph , semoga nonik nonik nya , dpt suami yg care n cinta klg kayak bapak Joseph ..🙏🙏
Hai maut dimanakah sengatmu, adalah kalimat yang pernah diucapkan saudari martha sebagai spiritual fighter yang tangguh,,,,
Posting Komentar