Hari ini adalah 76 tahun kemerdekaan negara kita Republik Indonesia.
Usia 76 tahun kalau bagi manusia adalah usia yang sudah tidak bisa dibilang masih muda. Kalau manusia sudah pasti telah mempunyai anak dan cucu. Dan kalau manusia dengan usia seperti ini, sudah pasti memiliki banyak pengalaman hidup dan telah menjadi sosok yang bijaksana. Dan sudah dipastikan sudah mulai mundur dari kegiatan yang ketat seperti dulunya ketika masih muda. Bahkan tidak sedikit yang sudah memasuki masa pensiun.
Tetapi bagi negara Republik Indonesia, usia 76 tahun bukan lah usia untuk memasuki masa pensiun. Saat ini, hari hari ini, malah Indonesia lagi menghadapi sebuah tantangan yang besar dan berat. Pandemi yang lagi menyelimuti dunia juga tak luput menyelimuti negara kita Republik Indonesia. Dan saat ini Covid-19 adalah “clear and present danger” bagi negara kita. “Clear and present danger” kalau diterjemahkan secara bebas mempunyai arti sebuah bahaya yang saat ini ada, jelas dan nyata.
Presiden kita Bapak Jokowi harus menghadapi tantangan ini dengan segala pertimbangan dan perhitungan yang tepat dan matang. Langkah yang ditempuh di negara lain tidak bisa dengan serta merta bisa diaplikasikan di negara kita Indonesia.
Seperti yang saya kutip dari berita Reuter online:
“Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan pada hari Senin dalam pidato kenegaraan tahunannya bahwa ada kebutuhan untuk mencapai keseimbangan antara kesehatan dan kepentingan ekonomi di tengah lonjakan kasus COVID-19 di negara terbesar di Asia Tenggara itu.” (https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-president-says-need-balance-health-economy-pandemic-2021-08-16/)
Presiden Jokowi harus bisa mengambil keputusan yang tepat dan presisi dalam penanganan Covid-19 antara menyeimbangkan kebutuhan mengerem bertambahnya kasus Covid-19 dan kebutuhan untuk tidak menjadikan ekonomi rakyat terpuruk makin parah. It is not an easy job. Ini bukan pekerjaan yang mudah.
Ada orang bilang kalau Indonesia kalah dengan negara tetangga Singapura dalam menangani kasus Covid-19. Tetapi apakah orang itu pernah memikir perbedaan besar antara negara Indonesia dan Singapura. Penduduk Singapura berjumlah kurang lebih 5,7 juta jiwa yang tinggal di satu kota saja. Bandingkan dengan penduduk Indonesia yang berjumlah 270,6 juta jiwa yang tersebar di antara lebih dari 17.000 pulau. Dari melihat perbandingan dua data ini saja seharusnya orang itu tahu dan tidak dengan gampangnya ngomong kalau Indonesia kalah dalam menangani Covid-19 dengan negara Singapura. Keluarga yang mempunyai hanya 2 orang anak akan lebih mudah dalam menangani anak-anaknya daripada keluarga yang memiliki 12 orang anak.
Perjuangan Indonesia dalam menangani kasus Covid-19 masih belum selesai. Jangan mengatakan bahwa Indonesia kalah dalam penanganan Covid-19. Kalau pertandingan tinju, maka masih ada di ronde 5 atau 6, masih belum masuk ronde ke 12. It ain’t over till the fat lady sings. Istilah ini yang dalam bahasa Indonesia berbunyi “Ini belum berakhir sampai wanita gemuk itu bernyanyi” sering dipakai oleh orang Inggris dan Amerika untuk menggambarkan bahwa seseorang tidak boleh berasumsi sebuah hasil dari suatu peristiwa yang masih berlangsung. Perjuangan Indonesia dalam menangani Covid-19 di bawah pimpinan Presiden Jokowi masih berlangsung dan belum mencapai titik akhir.
Beberapa saat yang lalu saya melihat YouTube podcast dari Deddy Corbuzier, di episode ketika Deddy mewawancarai Menteri Pertahanan Indonesia, Bapak Prabowo Subianto. Saat itu Deddy melontarkan pertanyaan ke Pak Prabowo (di menit yang ke 19), bagaimana kalau Indonesia diserang oleh negara lain yang memiliki peralatan tempur yang lebih canggih dari Indonesia. Dan Pak Prabowo menjawab,”Begini, kita punya satu senjata yang ampuh. Senjata itu adalah perlawanan rakyat, senjata kita adalah perang rakyat semesta. Jadi sebetulnya pertahanan Indonesia adalah pertahanan seluruh rakyat Indonesia”.
Dan Pak Prabowo menceritakan bagaimana perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Belanda dan Jepang pada masa-masa mencapai Kemerdekaan Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia bersatu dengan semangat yang pantang menyerah dengan senjata yang apa adanya melawan kekuatan penjajah yang memiliki peralatan perang yang jauh lebih modern.
Saya masih ingat cerita papa saya yang bercerita bahwa “engku”nya (kalau dalam bahasa Indonesia adalah paman) tertembak mati di Jalan Kalianyar dalam pertempuran melawan tentara Jepang. Waktu saya masih duduk dibangku SMA, sekolah saya berada di Jalan Kalianyar. Dan pernah suatu saat ketika saya menyusuri jalan Kalianyar, saya berkata dalam hati saya, bahwa saya pernah mempunyai seorang anggota keluarga yang jauh diatas saya, yang mana saya tidak pernah bertemu dan dia mati tertembak oleh tentara Jepang dalam baku tembak dengan tentara Jepang di jalan di mana saya lagi berjalan saat itu. Dan dia bukanlah seorang tentara. Sebuah bukti nyata perlawanan rakyat yang digambarkan oleh Bapak Prabowo.
Dan saat pandemi ini juga saat yang paling tepat untuk sebuah “semangat perlawanan rakyat'' dalam memerangi Covid-19. Bersama dan saling bahu membahu mendukung Bapak Jokowi dalam memerangi Covid-19.
Sebuah semangat perlawanan rakyat untuk memerangi Covid-19, tidak membutuhkan pemikiran yang menyebar ideologi untuk memecah bangsa ini. Tidak membutuhkan pemikiran yang mengatakan bahwa Covid-19 itu tidak ada. Tidak membutuhkan pemikiran yang selalu curiga kepada pemerintah. Tidak membutuhkan pemikiran bahwa rakyat ditipu oleh pemerintah.
Yang ada dalam semangat perlawanan rakyat terhadap memerangi Covid-19 adalah pemikiran bahwa “bersama kita akan menang”.
Selama kita bersatu dan sepemikiran untuk Indonesia dan keutuhan Indonesia, kita negara Republik Indonesia akan keluar sebagai pemenang dalam memerangi pandemi ini.
Dirgahayu negara Republik Indonesia. Tuhan selalu bersama mu.
(Joseph Pratana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar