Tadi pagi saya teringat lagi tentang berita itu dan saya mengecek kebenarannya dan ternyata berita tersebut adalah hoax adanya.
Bahkan Jaya Suprana sudah diberitakan meninggal pada bulan Juli dan Agustus secara berturut-turut. Jadi dua kali meninggal dunia dalam dua bulan. That’s crazy. Kok ya ada orang yang mengarang berita omong kosong macam seperti itu. Dan disebar lagi.
(Berita tentang Jaya Suprana https://www.kompas.com/tren/read/2021/08/14/104825265/rekor-mati-dua-bulan-berturut-turut)
Disini kita bisa melihat bahwa banyak orang yang suka berita sensasi dan suka untuk menyebarkan ke orang lain demi supaya kelihatan kalau dia “well informed” (mengerti banyak informasi). Ternyata bukannya “well informed” tetapi “well misinformed”.
Jadi ada dua jenis orang dalam kisah semacam ini. Macam yang pertama, yang suka bikin berita omong kosong dan tidak benar. Macam yang kedua, yang suka menyebar berita sensasi di media sosial tanpa mengecek kebenaran nya. Makin negatif beritanya, makin getol orang untuk menyebar berita tersebut. Malah berebut dan berbalap untuk menyebar ke grup-grup Whatsapp supaya menjadi orang nomor satu yang tahu duluan.
Kalau beritanya positif, maka akan bermalas-malasan dalam menyebar ke orang lain. Karena kurang sensasional kan.
Hal seperti inilah yang bikin kondisi di masyarakat jadi resah dan sebagian lagi jadi hidup dalam ketakutan. Beredar berita yang tidak tahu ujung pangkalnya dari mana dan kebenarannya tidak ada sama sekali tetapi menjadi topik panas di media sosial.
Ini semua kembali lagi ke sifat manusia yang selalu pingin jadi pribadi yang “significant” (penting). Ketika mereka tidak punya sesuatu yang bisa membuat mereka merasa sebuah “pribadi yang signifikan” maka mulailah mengada-ada untuk bisa menjadi “pribadi yang signifikan” dengan melakukan sesuatu yang bersifat sensasional. Kalau sensasionalnya itu adalah sesuatu yang positif dan berguna bagi banyak orang, itu bagus. Tapi seringkali malah sebaliknya.
Kalau mau melangkah lebih jauh lagi, sebenarnya ingin menjadi sosok pribadi yang signifikan supaya bisa diterima orang lain. Maka kalau kita amati di grup Whatsapp ada orang orang tertentu (bukan semua orang) yang suka untuk post berita apapun juga tanpa mikir itu berita benar atau sekedar hoax. Kelihatan amat aktif di dalam grup.
Saya termasuk orang yang tidak aktif di dalam grup-grup Whatsapp, saya hanya berkomentar kalau ada yang berulang tahun atau ada berita tentang seseorang yang meninggal dunia. Dan sering kali pas saya langi “ngintip” di grup, saya melihat ada berita yang amat “sensasional” baru saja di forward ke dalam grup. Segera saya check kebenaran berita itu. Dan 100% dari pengalaman saya, berita-berita itu adalah berita hoax. Dan segera saya “reply” dengan menulis satu kata, yaitu “hoax”. Saya lakukan ini supaya tidak di forwardkan lebih lanjut.
Yang saya masih ingat adalah berita yang amat dramatis bahwa virus Covid-19 adalah diciptakan oleh Amerika. Dan kisahnya demikian dramatis sehingga mirip sebuah kisah film spy. Ketika saya membaca itu, saya tahu pasti bahwa itu adalah hoax. Untuk lebih pastinya maka saya mengecek kisah tersebut dan saya mendapat jawaban bahwa memang itu hoax adanya. Awalnya kisah itu ditulis dalam bahasa Inggris dan ada orang yang menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. (Kurang kerjaan kali). Dan segera saya reply bahwa berita itu adalah “hoax”.
What we need is common sense. Yang kita butuhkan adalah akal sehat. Setiap baca berita yang sensasional, jangan keburu untuk segera di forward. Jadi “selebriti” di grup Whatsapp tidak membuat kita jadi “selebriti” di dunia nyata.
Saya tidak anti dengan orang-orang yang aktif di grup Whatsapp. Dengan kondisi pandemi semacam ini yang membuat orang tidak bisa bertemu muka, maka Whatsapp adalah media untuk melepas kangen di antara teman. Tetapi menjadikan grup Whatsapp sebagai wadah untuk menyebar berita sensational yang tidak jelas (dengan kata lain “hoax”), ini yang saya anti.
(Joseph Pratana)
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels
Tidak ada komentar:
Posting Komentar