"Pain demands to be felt. Apakah kalian tahu itu kalimat asalnya dari mana?", tanya saya kepada Michelle dan Nina, anak-anak saya, pada hari Jumat malam, minggu lalu. "Pain demands to be felt" kalau diterjemahkan secara bebas maka artinya adalah: rasa sakit itu menuntut untuk dirasakan.
"The Fault in Our Stars", jawab Nina, anak saya yang kedua.
"Benar", jawab saya.
"Papa yang tidak mau nonton film itu. Padahal itu film bagus", sambung Nina.
The Fault in Our Stars adalah judul sebuah film remaja yang berkisah tentang seorang remaja perempuan yang terkena kanker dan dia jatuh cinta dengan seorang remaja pria yang pernah sakit kanker dan sembuh (cancer survivor). Saya sendiri belum nonton film ini dan tahunya cerita tentang film tsb., ya dari cerita anak-anak saya. Nina bahkan membaca novel lebih dulu sebelum nonton film nya.
Pertama kali saya mendengar kalimat "Pain demands to be felt" adalah dari seorang client yang juga teman saya.
Sebenarnya kalimat tepatnya berbunyi sbb.: "That's the thing about pain. It demands to be felt."
Bagi saya kalimat tsb. mempunyai arti yang amat dalam. Lebih dari sekedar sebuah kalimat manis dari sebuah film atau buku cinta remaja yang dibuat hanya untuk membuat penonton atau pembacanya menangis.
Malam itu saya berkata kepada Michelle dan Nina bahwa "rasa sakit" itu secara hurufiah harus dirasakan. Rasa sakit dalam hidup ini janganlah dihindari tetapi harus dirasakan.
Secara pribadi saya tidak menyukai "pain killer" (pembunuh atau pereda rasa sakit), karena pain killer itu tidak menyembuhkan penyakit tapi hanya menghilangkan rasa sakit yang adalah symptom dari penyakit yang sebenarnya. Saya punya sebuah pengalaman tentang yang satu ini.
Pada 4 Maret 2009, saya terpeleset dan jatuh dari tangga kantor tempat saya bekerja yanga berada dilantai dua rumah saya. Saya jatuh dengan terluncur diatas anak tangga yang mana ketika mendarat dibawah, telinga kiri saya mendengar suara "klek". Dan saya melihat pundak kiri saya agak "flat" atau kempes. Ya, kempes karena ujung lengan kiri saya yang seharusnya menempel dipundak kiri, sudah terlepas. Jadi yang menahan tangan kiri saya adalah otot tangan dan kulit di pundak kiri saya. Saya mengalami "dislocated left shoulder". Lengan kiri saya lepas dari pundak kiri saya. This is not good, trust me.
Tangan kanan saya harus memegangi tangan kiri saya karena tangan kiri saya tanpa saya perintah ingin "muntir" kearah belakang. Ini dikarenakan posisi ujung lengan kiri yang sudah lepas dari pundak, jadi seperti pintu yang engselnya lepas. Kalau pakai istilah orang Surabaya, adalah: "Muntir karepe dewe" atau berputar dengan maunya sendiri. Otak saya sudah tidak bisa mengontrol posisi tangan kiri saya.
Saat pada posisi duduk sehabis meluncur jatuh, saya masih belum bisa pasti bahwa pundak saya cuman mengalami dislokasi atau juga patah. Untuk memastikan, saya melihat ke kaca atau mengaca dikamar tidur saya. Dikaca saya melihat bahwa lengan kiri saya masih dalam keadan lurus, yang menunjukkan bahwa lengan tidak patah. Hanya saja ujung atas lengan kiri sedikit agak jauh dari pundak dan kulit tangan bagian atas yang menghubungkan lengan kiri dan pundak dalam keadaan kempes (flat) seperti kantongan yang tidak berisi.
Kemudian saya duduk ditepi tempat tidur, yang mana Martha (istri saya), Michelle dan Nina berdiri disekeliling saya dengan kebingungan.
"Michelle, coba kamu tarik tangan kiri papa", kata saya kepada Michelle.
"Tidak mau, pa!!", teriak Michelle dan kemudian dia lari keluar kamar bersama Nina karena ketakutan melihat kondisi saya. Dan tinggal Martha yang dikamar.
"Tarik tangan kiriku", minta saya ke Martha.
"Tidak, aku telpon adikmu saja", katanya dan meninggalkan kamar.
Tinggal saya sendirian di dalam kamar dan duduk diatas tempat tidur dengan tangan kanan memegangi tangan kiri. Dan saya merasakan rasa sakit yang amat sangat. Jika level rasa sakit adalah: sakit, lebih sakit, paling sakit..... maka yang saya rasakan adalah level "minta ampun". Saat itu otak saya masih bisa meregister bahwa setiap detik rasa sakitnya bertambah secara teratur. Dan karena rasa sakit dengan level minta ampun tadi makin meningkat, saya yang tadinya dalam posisi duduk menjadi terjatuh ke depan dengan kaki bersila dan tangan kanan memegang erat tangan kiri.
Saat itu saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa saya harus melakukan sesuatu, karena saya tahu pasti bahwa sebentar lagi saya akan jatuh pingsan karena sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang saya rasakan. Dan kalau saya pingsan, maka akan jadi runyam, karena saya satu-satunya pria di rumah. Anak-anak saya kan semuanya perempuan dan istri saya, ya sudah pasti perempuan kan. Pembantu di rumah juga perempuan.
Dan saya mengangkat badan saya supaya kembali dalam posisi duduk. Tangan kanan saya yang memegangi tangan kiri saya rentangkan kedepan dan dengan sisa tenaga yang ada, saya menyentakkan tangan kiri saya. Dan telinga kiri saya dapat mendengar dengan jelas suara: "klek, klek" Dan tangan kiri saya kembali menjadi menempel dipundak kiri saya. Dan rasa sakit dengan level minta ampun tadi, tiba-tiba menghilang. Dan tanpa saya sadari, saya tertawa terbahak-bahak karena saya merasa kok lucu sekali. Dan saya berteriak,"Sudah, tangan saya sudah sembuh. Tidak usah nelpon siapa siapa!!".
![]() |
Saya harus menggunakan sling selama 1 bulan. Saya jatuh dari pintu dan meluncur kebawah dan mendarat di anak tangga yang berada di ujung kaki kiri saya. |
Rasa sakit kembali menghampiri pundak kiri saya secara perlahan-lahan setelah beberapa saat, mulai saya berangkat dari rumah ke UGD. Dan makin lama makin sakit, walaupun sakitnya tidak mencapai level minta ampun. Yang mana rasa sakit ini akhirnya membuat saya tidak bisa tidur selama semalam.
Setelah di X-ray dan saya harus tiduran di tempat tidur UGD (sambil merasakan rasa sakit di pundak kiri) untuk menunggu hasil X-ray, seorang perawat perempuan menghampiri saya dan dia bertanya,"Apakah bapak mau saya suntik pain killer (pereda sakit)?".
"Tidak", jawab saya.
"Yang diminum saja, ya, bukan yang disuntik", sambung perawat tadi.
Saya tertawa mendengar tawarannya, karena saya tahu maksud pertanyaan dia. Dia menyangka kalau saya takut untuk disuntik.
Dan saya berkata,"Tidak, saya tidak suka pain killer. Karena pain killer itu sama dengan menipu diri sendiri. Karena sakitnya sebenarnya masih tetap ada."
"Bapak benar-benar orang yang tahan rasa sakit." komentar perawat tadi dan kemudian dia pergi meninggalkan saya.
Sebenarnya bukannya saya ini orang yang tahan rasa sakit. Kalau saya tahan rasa sakit, saya tidak akan pingsan saat itu. Tapi saya hanya mau merasakan rasa sakit yang saya alami.
Kembali pada pembicaraan saya dengan Michelle dan Nina tentang "Pain demands to be felt".
Saya terangkan ke mereka bahwa dalam hidup ini ada "pleasure" (rasa menyenangkan atau nikmat) dan "pain" (rasa sakit).
Pada saat kita meraih kesuksesan dalam kehidupan pribadi atau dalam pekerjaan, maka kita akan merasakan "pleasure". Kita akan merasa senang, gembira, happy, joy dan lain-lainnya yang membuat kita tertawa. Tetapi pada saat kita mengalami kegagalan dalam hidup kita, maka kita akan merasakan rasa tidak enak atau rasa sakit atau "pain".
Pada saat rasa sakit itu mampir dalam kehidupan kita, kita harus merasakannya. Saat itu kita mempunyai dua pilihan dalam merasakan rasa sakit itu. Yaitu "To Build Us" atau "To Break Us". Untuk membangun diri kita atau untuk menghancurkan kita. Hanya kita yang mampu untuk melakukan pilihan. Orang lain tidak bisa memilihkan untuk kita.
Untuk membangun diri kita, maka kita akan merasakan rasa sakit itu dalam usaha untuk me-register rasa sakit itu ke dalam otak kita. Sehingga kita mempunyai record (rekaman) rasa sakit itu. Setelah itu kita harus melakukan sesuatu (seperti pada saat saya memutuskan untuk menarik tangan kiri saya), sebelum rasa sakit itu membuat kita jatuh "pingsan" dalam kehidupan ini. Dan record (rekaman) rasa sakit yang ada di otak kita akan menjadikan kita lebih bijaksana di kemudian hari untuk tidak mengulangi tindakan yang menyebabkan kita mengalami rasa sakit itu lagi.
Untuk menghancurkan diri kita, maka kita akan merasakan rasa sakit itu secara berlarut-larut hingga akhirnya kita jatuh "pingsan" dalam kehidupan ini. Dan kita tidak mempunyai kemampuan lagi untuk meneruskan kehidupan kita.
So when the pain demands to be felt. Just feel it.
And be wise. (Joseph Pratana)
----------------------
http://nationalpainreport.com/wp-content/uploads/2016/01/Pain-killer-pill.jpg
http://www.gunnaresiason.com/wp-content/uploads/2016/09/tumblr_mydouiYnl31sfevmio2_500.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar