Taxi Blue Bird yang dipesan oleh istri saya telah datang dan saya melangkah keluar rumah. Saya melihat kalau taxi berhenti di depan rumah tetangga saya. Saya memberikan kode ke pengemudi taxi untuk tidak perlu memundurkan taxinya. Saya berjalan dan masuk ke dalam taxi.
"Selamat pagi," salam saya ke pengemudi taxi yang masih muda, belum 30 tahun usianya.
"Ke bandara Juanda," lanjut saya lagi kepadanya.
Maka meluncurlah taxi keluar dari daerah pemukiman dimana saya tinggal untuk menuju ke airport Juanda,.
Ketika sampai di traffic light Kupang Jaya dan seharusnya belok ke kanan masuk ke Jl. Raya Kupang Indah (jalan yang paralel dengan jalan tol), taxi berjalan lurus ke arah Dukuh Kupang.
"Anda salah, seharusnya belok ke kanan", kata saya kepada pengemudi taxi.
Pengemudi taxi meminta maaf kepada saya dan taxi berputar arah untuk kembali menuju ke Jl. Raya Kupang Indah.
"Jarang ke daerah Barat?", tanya saya.
"Ya, Pak. Saya tidak pernah ke daerah Surabaya Barat", jelas dia.
Taxi berjalan terus sampai di Jl. Bundaran Satelit dan menuju ke arah pintul tol.
Ketika makin mendekat ke arah pintu tol, terlihat beberapa mobil berhenti mengantri untuk masuk. Dan saya merasa bahwa taxi yang saya tumpangi meluncur seakan tidak ada niatan untuk berhenti dan mengarah ke mobil yang ada di depannya.
"Pelan, pelan,......!!!", kata saya agak berteriak.
Dan taxi berhenti pas di belakang mobil yang ada di depan taxi.
Setelah melewati gardu pintu masuk tol, taxi berjalan dengan kecepatan sedang di Jalan Tol Surabaya-Gempol. Bergerak dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat ini, saya melihat bahwa taxi berkali-kali hampir berserempetan dengan mobil-mobil lain yang sedang melaju dalam tol. Sampai-sampai saya bisa melihat betapa besar yang namanya ban mobil truk melalui jendela taxi dimana saya duduk di jok penumpang, karena begitu dekatnya taxi dan truk.
Berkali-kali pula saya berkomentar "awas", "hati-hati" dan "rem". Dan saya yang duduk di jok penumpang telah dicekam dengan perasaan tegang. Sampai-sampai saya sudah tidak bersandar lagi duduknya.
Setelah lewat depan Masjid Agung, taxi hampir menghantam truk yang berjalan disebelah kiri jalan.
"Awas, ada truk!!!", teriak saya dan taxi dibanting ke kanan.
"Anda bisa setir mobil atau tidak!?", tanya saya dengan nada agak keras.
Kembali pengemudi taxi meminta maaf.
Taxi berjalan mengarah ke pintu tol arah ke bandara Juanda. Dan terlihat beberapa mobil telah mengantri menunggu giliran untuk bisa masuk ke tol. Dan taxi berjalan ke arah antrian mobil dengan kecepatan seakan tidak ada niatan untuk berhenti.
"Awas, mobil di depanmu!!!", kali ini saya berbicara dengan suara keras.
Taxi di rem dengan mendadak dan berhenti persis dibelakang mobil yang ada di depan.
"Kamu bisa setir mobil atau tidak?!", tanya saya lagi dengan agak marah.
Saya sempat melihat wajah pengemudi taxi yang tegang, takut dan stress. Dan dia tidak menjawab pertanyaan saya.
"Sehabis bayar tol, kamu berhenti dan saya yang akan setir taxi nya", kata saya dengan suara tegas dan marah. Tapi dalam hati saya saya bilang, "Not again. Not again."
Seusai membayar tol, taxi berjalan perlahan meninggalkan gardu tol.
"Berhenti di sebelah kanan sana," kata saya.
Dan taxi dibanting kearah kanan dengan mendadak dengan maksud untuk berhenti disebelah kanan jalan. Dan jarak taxi berhenti dan pintu tol masih terlalu dekat.
"Jangan disini, terlalu dekat dengan pintu masuk tol. Agak depan sana", kata saya lagi.
Tahu-tahu taxi bergerak mundur dan saya melihat ada mobil yang bergerak meninggalkan pintu tol untuk masuk ke tol setelah membayar tol.
"STOP, STOOOP!!!", teriak saya sambil meloncat dari duduk saya, karena saya melihat melalui kaca belakang taxi bahwa ada mobil yang bergerak ke arah taxi.
Taxi berhenti secara mendadak di rem. Dan mobil yang dibelakang taxi bisa menghindari taxi yang saya tumpangi sehingga terhindar dari tabrakan.
"Agak di depan sana berhentinya!", kata saya lagi.
Dan setelah taxi berhenti, saya berkata ke pengemudi, "Saya yang setir taxinya ke bandara. Kamu pindah sekarang."
Setelah berkata demikian, saya keluar dari pintu penumpang. Saya melihat pengemudi taxi keluar dan bergerak akan masuk ke tempat duduk penumpang dibelakang.
"Tidak dibelakang, disebelah saya", kata saya dengan tegas dan dengan sedikit marah.
Dan si pengemudi membatalkan niatnya untuk duduk di bangku penumpang dan dia duduk di jok sebelah jok kemudi.
Saya masuk kedalam taxi dan duduk di jok kemudi dan sepertinya saya tidak bisa percaya bahwa kembali saya harus mengemudikan taxi yang saya tumpangi ke airport Juanda. Masih segar dalam ingatan saya kalau 3 bulan yang lalu saya juga harus mengemudikan taxi ke bandara Juanda gara-gara pengemudinya mengalami trauma.
Lagi .... saya mengemudikan taxi yang saya tumpangi.
Saya tidak mengemudikan taxi dengan kecepatan tinggi seperti 3 bulan yang lalu. Ini dikarenakan saya masih punya cukup waktu untuk tiba di bandara.
"Sudah berapa lama kamu bisa mengemudikan mobil?," tanya saya selagi mengemudikan taxi.
Si pengemudi taxi dengan wajah muram dan stress menjawab, "Sudah satu tahun."
"Kamu tahu tidak, sebenarnya kamu itu masih belum bisa mengemudikan mobil," sambung saya.
Dia diam saja.
"Sudah berapa lama kamu kerja sebagai pengemudi taxi?" tanya saya lagi.
"Baru dua hari dan ini hari yang ketiga." jawab dia.
"Dalam dua hari ini saya sudah menabrakkan taxi tiga kali," sambung dia lagi.
Kali ini saya yang terperangah mendengarkan penuturannya.
"Dalam 2 hari sudah menabrak 3 kali. Kok bisa-bisanya kamu diterima jadi pengemudi taxi? Apa kamu tidak di test dulu sebelum diterima menjadi pengemudi taxi?" tanya saya keheranan.
"Saya ditolak di dua pangkalan taxi, ... (dan dia menyebutkan 2 pangkalan taxi) tetapi di pangkalan taxi yang di ... (saya tidak menuliskan nama pangkalannnya), saya lulus test dan diterima." dia bercerita.
"Kamu harus berhenti bekerja sebagai pengemudi taxi," tegas saya, "ini membahayakan dirimu dan penumpang."
Dia tertunduk.
"Saya tidak bisa berhenti, karena saya habis menabrakkan taxi. Saya harus menggantikan beaya perbaikan tabrakan sampai lunas baru saya bisa berhenti", dia berkata lagi.
"Tapi pekerjaan ini tidak cocok bagi kamu," sanggah saya lagi.
Dia hanya terdiam saja.
"Sebelum ini kamu bekerja apa?", tanya saya.
"Tadinya saya bekerja sebagai salesman sepeda motor," jawab dia.
"Kenapa kok berhenti," tanya saya.
"Saya diberhentikan," dia menerangkan.
"Kenapa?", kejar saya.
"Tidak tahu kenapa," sahut dia.
Secara perlahan-lahan, perasaan marah saya mulai reda. Dan timbul perasaan kasihan saya kepada dia.
Taxi sampai di gardu tol yang di daerah dekat Suroboyo Carnival. Dan ketika saya menyodorkan uang tol, penjaga tol bingung melihat pengemudi taxi yang memakai seragam duduk di jok penumpang sedangkan yang mengemudikan taxinya tidak memakai seragam pengemudi taxi.
Taxi bergerak meninggalkan gardu masuk tol dan menuju kearah bandara Juanda.
"Ayah mu kerja apa?", tanya saya.
"Tidak bekerja." jawab dia.
"Kamu sudah punya anak?", tanya saya lagi, karena saya tahu bahwa dia sudah menikah karena dia memakai cincin kawin di jari manis tangan kanannya.
"Sudah, anak laki 8 tahun," dia menjawab dengan cepat.
"Itulah sebabnya kamu harus berhenti bekerja sebagai pengemudi taxi. Karena kalau sampai terjadi sesuatu dengan kamu, akan kasihan anakmu." kembali saya kepada topik kenapa dia harus berhenti bekerja sebagai pengemudi taxi.
Dia hanya tertunduk.
"Berdoa sama Tuhan. Minta Tuhan bukakan jalan bagi kamu. Kamu percaya Tuhan kan?," sambung saya lagi.
"Saya percaya Tuhan," kata dia.
"Saya tahu bahwa amat sulit bagi kamu untuk bisa berhenti dari pekerjaan ini karena kamu masih punya tanggung jawab akibat menabrakkan taxi. Tapi saya percaya, kalau kamu berdoa dan minta tolong kepada Tuhan, maka Tuhan akan tolong kamu," jelas saya panjang lebar.
"Tidak ada barang yang mustahil bagi Tuhan. Minta kepada Tuhan pekerjaan baru yang cocok bagi kamu" sambung saya lagi.
"Anakmu sudah sekolah?", tanya saya.
"Sudah, SD", dan dia menyebutkan kelasnya, hanya saya sudah lupa kelas berapa anaknya.
Beberapa taxi Blue Bird yang menyalip saya, pengemudi nya menoleh kearah saya dan bingung melihat saya yang mengemudikan taxinya.
"Tuhan menolong saya ketika saya dalam kesulitan dalam hidup saya. Tuhan juga akan menolong kamu." kata saya menjelaskan.
Dia hanya terdiam.
Ketika sampai di bandara Juanda, argo meter menunjukkan Rp. 95.000,-- Saya mengeluarkan 3 lembar uang Rp. 50.000,- dan saya berikan kepada dia.
"Ini untuk kamu semua," kata saya.
"Terima kasih, pak", dia berterima kasih dan menerima uang yang saya berikan.
Dan ketika saya akan membuka pintu taxi, saya mengambil selembar lagi uang Rp. 50.000,-- dan saya berikan lagi kepada dia.
"Ini untuk kamu. Ingat perkataan saya. Kamu harus ganti pekerjaan. Anakmu masih kecil dan butuh kamu. Jangan sampai terjadi hal yang buruk atas kamu. Kasihan anakmu. Anakmu masih membutuhkan kamu.", sambung saya panjang lebar.
"Ya, pak", sahut dia
"Jangan lewat tol habis ini. Langsung kembali saja ke pangkalan." kata saya lagi.
"Ya, pak. Terima kasih," jawab dia dengan muka murung.
Saya keluar dari taxi dan mengambil koper saya di bagasi taxi. Dan dia pindah dari jok penumpang di depan ke jok pengemudi. Setelah itu saya berdiri di lobby bandara dan melihat taxi yang baru saya kemudikan bergerak perlahan meninggalkan saya.
Saya berjalan sambil menyeret koper dengan pikiran penuh dengan pembicaraan dan cerita si pengemudi taxi. Dipikiran saya, saya tahu bahwa menyekolahkan anak saat-saat ini bukanlah sesuatu yang murah. Mahal sekali. Dan anak si pengemudi taxi itu sudah berusia 8 tahun. Dia harus bekerja untuk bisa membiayai hidup dan menyekolahkan anaknya. Itulah sebabnya setelah kehilangan pekerjaannya, dia bekerja sebagai pengemudi taxi untuk bertahan hidup, walaupun dia tahu dia masih belum bisa mengemudikan mobil dengan baik.
Tanpa terasa ketika kaki saya melangkah diatas lantai bandara Juanda, mata saya basah oleh air mata. Dalam hati saya berkata," God, please help him."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar